Text
Memoar Penyaksi Mati : 11 tahun hidup bersama papi
Seluruh perialanan selama hidup hingga sampai pada hitungan angka itu, telah kulalui dengan khidmat. Penuh warna, terangkai dalam aneka peristiwa selama enam dekade. Aku hanya bisa memuliakan anugerah semesta tiada tara, dengan rasa syukur tak sudah.
Memasuki usia 64, bisa disebut angka istimewa, setidaknya bagi diriku. Dalam tradisi budaya Jawa, ada upacara yang dilaksanakan ketika seseorang berusia 64 tahun (8 windu). Sebagai bagian siklus manusia memasuki usia tua, angka itu disebut sebagai tumbuk ageng. Kata "tumbuk" berarti bertepatan dan "ageng" berarti besar. Usia 64 merupakan cerminan 8 windu Sedangkan satu windu setara dengan 8 tahun.
Untuk merayakannya, aku ingin membuat sesuatu. Tidak dalam semangat ekstravaganza kering nilai dan makna. Namun perayaan yang harus ditandai dengan hadirnya sebuah karya. Aku mengabadikan sebagian kisah hidup ke dalam teks. Dengan menulis, aku tidak ingin hilang ditelan masa, seperti dituturkan Pramudya Ananta Tour (1925-2006). Kehidupan setiap manusia tentu menarik dituturkan. Sesederhana apapun. Sebab, setiap orang punya keunikan dirinya masing-masing. Tidak ada yang sama.
Demikianlah tulisan sebagian kisah hidup ini kubuat. Hanya itu yang bisa kulakukan. Sebab, jika ukuran pencapaian hidup diberikan semata atas kesuksesan duniawi, tak akan pernah kudapatkan. Dengan kemampuan dan talenta yang ada, menulis adalah satu-satunya ladang ekspresi yang bisa kulakukan. Aku ingin meninggalkan jejak kehidupan. Pada siapa pun. Meski hanya sedikit. Melalui memoar ini.
| B01650S | 92 (AGOES) AGO m | Perpustakaan Daerah | Tersedia |
| B02152S | 92 (AGOES) AGO m | Perpustakaan Daerah | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain